SEJARAH kelam
pernah terjadi pada sekelompok masyarakat adat di Provinsi Jambi, Kabupaten
Merangin, Kecamatan Jangkat. Sekitar tahun 1959 sekelompok suku yang dikenal
dengan naman suku madras, mempunyai sejarah kelam untuk tetap bertahan hidup.
Belum banyak yang mengenal tentang suku Madras, hal ini terbukti belum
banyaknya catatan-catatan peneliitian tentang suku Madras yang terdapat di
Provinsi Jambi tersebut.
Padatnya penduduk
di Desa Muaro Madras membuat menyempitnya lahan untuk masyarakat bercocok tanam,
hal tersebut membuat timbul keinginan dari beberapa masyarakat di Madras untuk
mencari lahan baru sebagai lokasi untuk bercocok tanam. Berbekal tanbo (peta) pada tahun 1963 Akhirnya 5
orang Madras pun melakukan perjalanan untuk mencari dataran luas tersebut. Tanbo
merupakan peta perjalanan yang dibuat oleh Rio Gagah Tuo (Seperti Bupati di Madras pada masa itu dan ayah dari Sultan Taha
Jambi), pada tanbo tersebut
tercatat jelas tentang daerah Rejang hingga Bengkulu, dari tanbo tersebut juga diketahui ada lokasi yang memiliki dataran yang
luas di daerah aliran Sungai Seblat.
Perjalanan
tersebut memakan waktu lebih kurang 5 hari, untuk melihat apakah wilayah
tersebut cocok untuk bercocok tanam 5 orang tersebut menebar benih padi. Sekembalinya 3 bulan setelah menebar
benih melihat benih yang ditebar tumbuh dengan subur akhirnya mereka mengajak
keluarganya untuk ikut pindah. Diawali dengan 7 keluarga kecil. Semakin
banyaknya populasi perpindahan masyarakat suku Madras dari Jambi hingga pada
tahun 1972 Desa Sungai Lisai Resmi menjadi sebuah Desa yang dulu disebut dusun
dan diresmikan langsung oleh Pesirah dari Madras yang sekarang disebut Camat.
Kemudian melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 terjadi penyeragaman oleh
Pemerintah yang awalnya dusun berubah menjadi Desa.
Pergantian rezim yang memerintah di Republik Indonesia
membawa dampak besar bagi perubahan kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu juga
dialami masyarakat suku Madras, satu tahun sebelum ditetapkannya kawasan
tersebut menjadi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) terdapat himbauan dari
ABRI dan Departemen Kehutanan bahwasa kawasan tersebut akan dijadikan Taman
Nasional dan Desa Sungai Lisai masuk kedalamnya. Berdasarkan SK/736/MentTan/10/1982
akhirnya pada tahun 1982 Taman Nasional dengan seluas 1.483.600 Ha Kerinci
Seblat (TNKS) diresmikan. Tidak berhenti sampai disitu, tahun 1983 beberapa
pasukan ABRI masuk ke Desa Sungai Lisai dan melakukan penangkapan terhadap
warga yang dikumpulkan kemudian dipasang papan yang dikalungkan, bertuliskan
“Perambah Hutan”, mereka pun dibariskan sambil ditodong senapan mereka difoto
sebagai salah satu upaya pengusiran terhadap warga masyarakat.
Hal tersebut membuat banyak masyarakat yang telah tinggal
di Desa Sungai Lisai kembali pulang ke Madras. Pada akhirnya hanya tersisa
beberapa keluarga yang masih bertahan, seiring berjalannya waktu pada akhir
tahun 1980-an banyak pihak Balai TNKS rutin datang ke Desa Sungai Lisai untuk
melakukan sosialisasi agar masyarakat tidak lagi membuka lahan baru hal
tersebut pun rutin hingga tahun 1990-an. Hal tersebut tidak membuat sebagian
masyarakat takut dan pergi dari Desa Sungai Lisai tersebut, meskipun banyak
juga yang pada akhirnya kembali ke Madras.
Penghujung tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an atau pasca
reformasi banyak masyarakat dari Madras kembali datang ke Desa Sungai Lisai hal
ini karena intensitas kedatangan petugas dari Balai Taman Nasional Kerinci
(TNKS) mengalami penurun, bahkan bisa dikatakan sangat jarang hingga saat ini.
Meskipun begitu masyarakat tetap merasa risau karena selalu dibayang – bayangi
akan pidana yang bisa terjadi kapan pun pada mereka. Meskipun hampir enam
dekade mereka mendiami wilayah tersebut tetap saja tidak ada solusi konkret
dari Pemerintah akan wilayah yang mereka diami. Walaupun sejak tahun 2009 Desa
Sungai Lisai secara administratif telah pindah ke Kabupaten Lebong tetap saja
tidak berdampak banyak bagi masyarakat suku Madras di Desa Sungai Lisai.
PALASOSTIK sebagai organisasi Mahasiswa merasa mencoba
untuk mengingatkan kembali kepada Publik dan Pemerintah pada 27 April 2017 mengangkat
permasalahan yang dialami masyarakat suku Madras di Desa Sungai Lisai melalui
Seminar Nasional tentang Hak Kelola Suku Madras di Taman Nasional Kerinci
Seblat. Pada Seminar itu dihadiri Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan
Hutan Adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pak Eka Widodo
Soegiri selaku pembicara pada saat Seminar, selain itu dari Pemda Provinsi
Bengkulu Kepala Dinas LHK, dari Balai TNKS Kepala Seksi TNKS Wilayah Lebong,
Akademisi dan Praktisi. Hasil dari Seminar tersebut KLHK dan Dinas LHK Provinsi
menyampaikan salah satu resolusi untuk menyelesaikan masalah tersebut melalui
skema Kemitraan Kehutanan sedangkan dari Balai TNKS menawarkan Zona Khusus yang
akan diberikan kepada Desa Sungai Lisai. Ditahun yang sama Dirjen KSDAE
menngeluarkan SK No 495/KSDAE/SET/KSA tentang zonasi kawasan TNKS. Dengan
dikeluarkannya SK tersebut maka Desa Sungai Lisai masuk kedalam kawasan Zona
Khusus.
Jika kita mencoba menarik kembali benang merah
berdasarkan sejarah awal perpindahan masyarakat suku Madras yang kemudian
membangun pemukiman baru di pinggiran Sungai Seblat yang mereka namakan Desa
Sungai Lisai dan berdirinya Taman Nasional Kerinci Seblat, tentu masyarakat
terlebih dahulu yang memiliki hak atas wilayah tersebut. Tapi hingga hari ini
belum ada penyelesaian konkret oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kehutanan
dan Lingkungan atau pun keinginan kuat dari Pemda baik Provinsi maupun
Kabupaten untuk menyelesaikan masalah tersebut yang terus belarut – larut
hingga hari ini. Hal tersebut membuat
kondisi masyarakat Desa Sungai Lisai memprihatinkan dalam memperoleh
akses Pendidikan dan Kesehatan serta ketidakpastian nasib masa depan anak cucu
merekanya dikemudian hari.
Meskipun dengan dikeluarkannya SK No 495/KSDAE/SET/KSA
tentang zonasi kawasan TNKS oleh Dirjen KSDAE, tetap saja Desa Sungai Lisai
menjadi Kawasan TNKS dan bukan menjadi hak kepemilikan masyarakat Suku Madras
di Desa Sungai Lisai karena zonasi bisa saja berubah kapan pun.
Oleh : Nur Miessuary