Sabtu, 17 Februari 2018

ENAM DASAWARSA SUKU MADRAS DI BAYANG PIDANA



ENAM DASAWARSA SUKU MADRAS DI BAYANG PIDANA





SEJARAH kelam pernah terjadi pada sekelompok masyarakat adat di Provinsi Jambi, Kabupaten Merangin, Kecamatan Jangkat. Sekitar tahun 1959 sekelompok suku yang dikenal dengan naman suku madras, mempunyai sejarah kelam untuk tetap bertahan hidup. Belum banyak yang mengenal tentang suku Madras, hal ini terbukti belum banyaknya catatan-catatan peneliitian tentang suku Madras yang terdapat di Provinsi Jambi tersebut.
Padatnya penduduk di Desa Muaro Madras membuat menyempitnya lahan untuk masyarakat bercocok tanam, hal tersebut membuat timbul keinginan dari beberapa masyarakat di Madras untuk mencari lahan baru sebagai lokasi untuk bercocok tanam. Berbekal tanbo (peta) pada tahun 1963 Akhirnya 5 orang Madras pun melakukan perjalanan untuk mencari dataran luas tersebut.  Tanbo merupakan peta perjalanan yang dibuat oleh Rio Gagah Tuo (Seperti Bupati di Madras pada masa itu dan ayah dari Sultan Taha Jambi), pada tanbo tersebut tercatat jelas tentang daerah Rejang hingga Bengkulu, dari tanbo tersebut juga diketahui ada lokasi yang memiliki dataran yang luas di daerah aliran Sungai Seblat.
Perjalanan tersebut memakan waktu lebih kurang 5 hari, untuk melihat apakah wilayah tersebut cocok untuk bercocok tanam 5 orang tersebut menebar benih padi. Sekembalinya 3 bulan setelah menebar benih melihat benih yang ditebar tumbuh dengan subur akhirnya mereka mengajak keluarganya untuk ikut pindah. Diawali dengan 7 keluarga kecil. Semakin banyaknya populasi perpindahan masyarakat suku Madras dari Jambi hingga pada tahun 1972 Desa Sungai Lisai Resmi menjadi sebuah Desa yang dulu disebut dusun dan diresmikan langsung oleh Pesirah dari Madras yang sekarang disebut Camat. Kemudian melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 terjadi penyeragaman oleh Pemerintah yang awalnya dusun berubah menjadi Desa.
Pergantian rezim yang memerintah di Republik Indonesia membawa dampak besar bagi perubahan kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu juga dialami masyarakat suku Madras, satu tahun sebelum ditetapkannya kawasan tersebut menjadi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) terdapat himbauan dari ABRI dan Departemen Kehutanan bahwasa kawasan tersebut akan dijadikan Taman Nasional dan Desa Sungai Lisai masuk kedalamnya. Berdasarkan SK/736/MentTan/10/1982 akhirnya pada tahun 1982 Taman Nasional dengan seluas 1.483.600 Ha Kerinci Seblat (TNKS) diresmikan. Tidak berhenti sampai disitu, tahun 1983 beberapa pasukan ABRI masuk ke Desa Sungai Lisai dan melakukan penangkapan terhadap warga yang dikumpulkan kemudian dipasang papan yang dikalungkan, bertuliskan “Perambah Hutan”, mereka pun dibariskan sambil ditodong senapan mereka difoto sebagai salah satu upaya pengusiran terhadap warga masyarakat.
Hal tersebut membuat banyak masyarakat yang telah tinggal di Desa Sungai Lisai kembali pulang ke Madras. Pada akhirnya hanya tersisa beberapa keluarga yang masih bertahan, seiring berjalannya waktu pada akhir tahun 1980-an banyak pihak Balai TNKS rutin datang ke Desa Sungai Lisai untuk melakukan sosialisasi agar masyarakat tidak lagi membuka lahan baru hal tersebut pun rutin hingga tahun 1990-an. Hal tersebut tidak membuat sebagian masyarakat takut dan pergi dari Desa Sungai Lisai tersebut, meskipun banyak juga yang pada akhirnya kembali ke Madras.
Penghujung tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an atau pasca reformasi banyak masyarakat dari Madras kembali datang ke Desa Sungai Lisai hal ini karena intensitas kedatangan petugas dari Balai Taman Nasional Kerinci (TNKS) mengalami penurun, bahkan bisa dikatakan sangat jarang hingga saat ini. Meskipun begitu masyarakat tetap merasa risau karena selalu dibayang – bayangi akan pidana yang bisa terjadi kapan pun pada mereka. Meskipun hampir enam dekade mereka mendiami wilayah tersebut tetap saja tidak ada solusi konkret dari Pemerintah akan wilayah yang mereka diami. Walaupun sejak tahun 2009 Desa Sungai Lisai secara administratif telah pindah ke Kabupaten Lebong tetap saja tidak berdampak banyak bagi masyarakat suku Madras di Desa Sungai Lisai.
PALASOSTIK sebagai organisasi Mahasiswa merasa mencoba untuk mengingatkan kembali kepada Publik dan Pemerintah pada 27 April 2017 mengangkat permasalahan yang dialami masyarakat suku Madras di Desa Sungai Lisai melalui Seminar Nasional tentang Hak Kelola Suku Madras di Taman Nasional Kerinci Seblat. Pada Seminar itu dihadiri Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pak Eka Widodo Soegiri selaku pembicara pada saat Seminar, selain itu dari Pemda Provinsi Bengkulu Kepala Dinas LHK, dari Balai TNKS Kepala Seksi TNKS Wilayah Lebong, Akademisi dan Praktisi. Hasil dari Seminar tersebut KLHK dan Dinas LHK Provinsi menyampaikan salah satu resolusi untuk menyelesaikan masalah tersebut melalui skema Kemitraan Kehutanan sedangkan dari Balai TNKS menawarkan Zona Khusus yang akan diberikan kepada Desa Sungai Lisai. Ditahun yang sama Dirjen KSDAE menngeluarkan SK No 495/KSDAE/SET/KSA tentang zonasi kawasan TNKS. Dengan dikeluarkannya SK tersebut maka Desa Sungai Lisai masuk kedalam kawasan Zona Khusus.
Jika kita mencoba menarik kembali benang merah berdasarkan sejarah awal perpindahan masyarakat suku Madras yang kemudian membangun pemukiman baru di pinggiran Sungai Seblat yang mereka namakan Desa Sungai Lisai dan berdirinya Taman Nasional Kerinci Seblat, tentu masyarakat terlebih dahulu yang memiliki hak atas wilayah tersebut. Tapi hingga hari ini belum ada penyelesaian konkret oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kehutanan dan Lingkungan atau pun keinginan kuat dari Pemda baik Provinsi maupun Kabupaten untuk menyelesaikan masalah tersebut yang terus belarut – larut hingga hari ini. Hal tersebut membuat  kondisi masyarakat Desa Sungai Lisai memprihatinkan dalam memperoleh akses Pendidikan dan Kesehatan serta ketidakpastian nasib masa depan anak cucu merekanya dikemudian hari.
Meskipun dengan dikeluarkannya SK No 495/KSDAE/SET/KSA tentang zonasi kawasan TNKS oleh Dirjen KSDAE, tetap saja Desa Sungai Lisai menjadi Kawasan TNKS dan bukan menjadi hak kepemilikan masyarakat Suku Madras di Desa Sungai Lisai karena zonasi bisa saja berubah kapan pun.


Oleh : Nur Miessuary